Beranda » Keris » Keris Tilam Sari Pamor Tejo Kinurung
click image to preview activate zoom

Keris Tilam Sari Pamor Tejo Kinurung

Rp 9.500.000
KodeP204
Stok Tersedia (1)
Kategori Keris, Tilam Sari
Jenis : Keris Lurus
Dhapur Tilam Sari
Pamor Tejo Kinurung
Tangguh Mataram Kartasura
Warangka : Gayaman Surakarta, Kayu Trembalo
Deder/Handle : Yudawinatan, Kayu Trembalo
Mendak : Parijata Bahan Kuningan
Pendok : Blewah, Bahan Tembaga
Tentukan pilihan yang tersedia!
Bagikan ke

Keris Tilam Sari Pamor Tejo Kinurung

Dhapur Tilam Sari

Menurut cerita pitutur lisan, salah satu wali-sanga, yaitu Kanjeng Sunan Kalijaga pernah menyarankan kepada pengikut-pengikut beliau, bahwa keris pusaka pertama yang harus dimiliki adalah keris dengan dapur Tilam Upih kemudian pasangannya adalah Tilam Sari. Menurut beliau keris dengan dapur ini, bisa menjadi pengikut/teman yang setia disaat suka maupun duka, disaat prihatin dan disaat jaya.

Tilam yang dalam terminologi Jawa berarti tikar yang terbuat dari anyaman daun untuk alas tidur, diistilahkan sebagai kondisi sedang tirakat/prihatin, masih tidur dengan alas yang keras, belum dengan alas yang empuk. Sedangkan Sari berarti kembang yang mempunyai filosofi luhur lambang rasa bakti terhadap orang tua, kemulyaan hidup dan keharuman nama.

Para orang tua jaman dahulu biasanya secara turun temurun memberikan anaknya yang menikah dengan keris dhapur tilam upih atau tilam sari, yang artinya mengingatkan sebuah tujuan hanya bisa dicapai dengan laku prihatin (tirakat) dan doa. Hakekat dan tujuan dari laku prihatin (tirakat) dan doa adalah usaha untuk menjaga agar kehidupan manusia selalu ‘keberkahan’, kesejahteraan lahiriah maupun batin, selamat dan sejahtera dalam lindungan Tuhan, agar dihindarkan dari kesulitan-kesulitan dan terkabul keinginan-keinginannya. Yang membuat orang berhasil mencapai tujuannya dengan menjalankan suatu laku prihatin (tirakat) adalah bukan semata-mata karena bentuk laku-nya, melainkan karena mereka akan tetap bijaksana dalam menjaga hal-hal yang positif dan menjauhi hal-hal yang bersifat negatif, sehingga segala sesuatu yang dikerjakan akan terkondisi pada arah yang benar untuk tercapainya tujuan, dan tentu saja doa adalah kendaraan yang mempercepat.

Pamor Tejo Kinurung

Pamor Tejo Kinurung dikenal sebagai salah satu pamor yang memiliki bentuk indah sekaligus sarat akan makna. Polanya membingkai bilah pusaka dengan garis yang tampak menyatu dari pangkal hingga ujung bilah. Dimulai dari garis horizontal pada bagian gonjo, lalu menyambung ke sor-soran dan memanjang lurus hingga puncak bilah, seolah menjadi pagar cahaya yang menjaga pusatnya. Di bagian tengah terdapat garis lurus yang dikenal sebagai pamor Sodo Lanang sehingga secara struktur, Tejo Kinurung merupakan perpaduan dua pamor utama: pamor Wengkon dan Sodo Lanang.

Sebagian kalangan pecinta tosan aji meyakini bahwa pamor ini membawa tuah baik, terutama bagi mereka yang mengemban amanah pemerintahan atau berada dalam ruang pelayanan negara. Tidak mengherankan bila banyak tokoh, pejabat, hingga kalangan militer memilih pusaka ber-pamor Tejo Kinurung sebagai pegangan batin dan simbol penjagaan diri. Dalam beberapa catatan, pamor sejenis ini juga pernah dipilih oleh Sunan Pakubuwono IV saat memesan pusaka luk 13 dhapur Parungsari kepada Mpu Brajaguna—sebuah penanda bahwa pamor ini telah lama dihargai pada lingkup kekuasaan dan kepemimpinan.

Meski demikian, tuah sebaiknya tidak dipahami sebagai kepercayaan kosong. Dalam tradisi tosan aji, tuah sesungguhnya adalah doa dan harapan yang disematkan ke dalam karya, menjadi pesan moral yang diwariskan, sekaligus piwulang yang dapat direnungi. Nama Tejo Kinurung sendiri menyimpan filosofi yang dalam: tejo berarti cahaya, sementara kinurung dapat dimaknai sebagai dijaga atau berada dalam lindungan. Cahaya yang dimaksud adalah cahaya nurani—kesadaran batin yang menuntun manusia berjalan pada jalan benar, jujur, adil, dan teguh memegang amanah. Cahaya itu tidak dipadamkan, melainkan ditutup agar tidak mudah redup oleh angin duniawi.

Dalam makna simboliknya, garis tengah pamor menjadi gambaran pertumbuhan. Seperti halnya padi yang semakin tinggi semakin merunduk, ia menjadi pesan bagi pemimpin agar rendah hati dan tetap membumi. Garis lurus itu juga melambangkan keteguhan sikap dalam menjalani jalan hidup yang lurus. Sementara bingkai di tepi bilah menjadi penanda perlindungan—batas yang menjaga prinsip di dalam diri agar tidak hilang oleh godaan kekuasaan maupun kepentingan pribadi.

Oleh sebab itu, pamor Tejo Kinurung sering dianggap tepat bagi mereka yang mengemban amanah negara: pemimpin, aparat pemerintahan, pejabat publik, polisi, militer, bupati, gubernur, hingga wakil rakyat. Harapannya, pusaka ini tidak hanya menjadi legitimasi simbolis jabatan, tetapi menjadi gondelan batin; pengingat bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan santapan bagi kepentingan pribadi. Bahwa cahaya dalam dirinya harus tetap menyala agar keberadaannya membawa manfaat bagi banyak orang—sebab sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi terang bagi sesamanya.

Tangguh Mataram Kartasura

Tangguh Mataram Kartasura merupakan salah satu periode penting dalam sejarah perkerisan Nusantara, karena berada pada masa transisi kekuasaan antara dinasti Amangkurat dan dinasti Pakubuwana. Era ini menandai perpindahan pusat pemerintahan Mataram Islam ke wilayah Kartasura, sebuah masa yang tidak hanya menyimpan dinamika politik dan pergolakan istana, tetapi juga melahirkan karakter seni budaya yang khas—termasuk pada dunia tosan aji.

Pada masa inilah corak keris mulai memperlihatkan perubahan dari gaya Mataram awal menuju bentuk-bentuk yang lebih mapan di era Pakubuwana. Kartasura menjadi panggung peralihan estetik, di mana pendekatan filosofis, kemegahan istana, dan kepentingan simbolik mulai menguat dalam penciptaan pusaka. Keris-keris tangguh Kartasura dikenal memiliki karakter yang tegas namun tetap memancarkan rasa agung, seolah menggambarkan suasana kerajaan yang tengah mencari keseimbangan antara kewibawaan dan kekuatan spiritual.

Secara historis, fase Kartasura adalah masa penuh gejolak: pemberontakan, perpindahan kekuasaan, hingga perpecahan keluarga raja. Namun di balik gejolak itu, lahirlah karya-karya pusaka yang justru memiliki nilai kependetaan tinggi. Pusaka-pusaka tangguh Kartasura sering dipandang sebagai penguat legitimasi, simbol kehalusan budi, sekaligus pelindung kewibawaan seorang pemangku amanah.

Dalam pandangan banyak pemerhati, keris Mataram Kartasura bukan sekadar warisan masa transisi, tetapi cerminan kegigihan budaya yang tetap tumbuh di tengah perubahan besar. Ia membawa jejak sejarah kerajaan, menyimpan aroma perjuangan leluhur, serta menjadi saksi peralihan dari masa Amangkurat menuju era Pakubuwana yang kelak meneruskan warisan budaya Mataram dalam wajah yang lebih terstruktur dan mapan di Surakarta.

Dengan demikian, tangguh Mataram Kartasura bukan hanya sebuah penanda zaman, tetapi sebuah narasi tentang perjalanan budaya—bahwa sebuah pusaka dapat mencatat kondisi politik, karakter kepemimpinan, hingga lanskap sosial suatu era. Ia menjadi gambaran bahwa seni puncak tosan aji selalu lahir dalam momentum sejarah yang besar, di mana keindahan bilah bukan sekadar bentuk, tetapi menjadi simbol penguat martabat dan keteguhan batin para pemiliknya.

P204

Keris Tilam Sari Pamor Tejo Kinurung

Berat 1500 gram
Kondisi Bekas
Dilihat 559 kali
Diskusi Belum ada komentar

Belum ada komentar, buka diskusi dengan komentar Anda.

Silahkan tulis komentar Anda

Produk Terkait