● online
Keris Sabuk Inten Kinatah Gajah Singa
Rp 25.500.000| Kode | P112 |
| Stok | Tersedia (1) |
| Kategori | Keris, Sabuk Inten |
| Jenis | : Keris Luk 11 |
| Dhapur | : Sabuk Inten |
| Pamor | : Pulo Tirto |
| Tangguh | : Mataram Senopaten |
| Warangka | : Ladrang Surakarta, Kayu Timoho |
Keris Sabuk Inten Kinatah Gajah Singa
Keris Sabuk Inten
Keris Sabuk Inten adalah salah satu pusaka yang begitu populer dalam khazanah tosan aji. Popularitasnya tak hanya karena keindahan bentuk dan garapnya, tetapi juga karena kisah dan simbolisme yang melekat di baliknya. Dalam berbagai babad dan tutur, Sabuk Inten sering digambarkan sebagai pusaka para bangsawan—lambang kemuliaan, kemakmuran, kesuksesan, dan kejayaan.
Namun, berbeda dengan keris Sengkelat yang lebih banyak diidentikkan dengan semangat rakyat jelata, saya melihat Sabuk Inten dari sudut pandang yang lain. Bagi saya, pusaka ini tidak diciptakan hanya untuk kalangan atas. Ia justru berbicara kepada siapa pun yang sedang menempuh perjalanan batin, tanpa memandang kedudukan atau derajat.
Bagi saya, Sabuk Inten bukan semata simbol kejayaan duniawi. Ia adalah cermin dari laku sunyi—sebuah perjalanan dalam diam, tanpa sorak-sorai atau sanjungan.
Kata sabuk bermakna ikat pinggang, sesuatu yang menahan dan mengikat agar tetap tertib pada tempatnya. Dalam falsafah Jawa, mengencangkan sabuk berarti tirakat—mengekang hawa nafsu, menahan diri, dan berdisiplin dalam laku prihatin. Sementara inten atau berlian, adalah hasil dari tempaan panjang: tekanan, waktu, dan kesabaran.
Maka, Sabuk Inten adalah gambaran proses itu sendiri—perjalanan dari keterikatan menuju kejernihan. Kemuliaan bukanlah tujuan akhir, melainkan hasil alami dari hati yang ditempa, dari jiwa yang sabar, dari niat yang terus dijaga tetap jernih.
Sabuk menahan keinginan untuk pamer; inten lahir dari kesunyian yang menumbuhkan ketulusan. Di sanalah letak kebijaksanaan sejati: ketika seseorang mampu menaklukkan dirinya sendiri.
Bagi saya yang hanya “remukan peyek” ini, pusaka Sabuk Inten justru menjadi sahabat yang paling jujur. Ia tidak berbicara, tetapi kehadirannya menegur dengan lembut:
bahwa menjadi mulia memang harus diupayakan, namun dianggap mulia atau tidak—itu bukan urusan kita. Tugas kita hanyalah menjaga niat, memperbaiki laku, dan meluruskan arah hati.
Kinatah Gajah Singa
Selain nilai filosofisnya yang luhur, keindahan fisik pusaka ini pun patut mendapat perhatian. Pandangan mata kita akan langsung tertuju pada ornamen kinatah emas yang menghias bagian gonjo dan gandik-nya—bukan sekadar hiasan, melainkan penanda sejarah dan simbol peristiwa penting.
Salah satu di antaranya adalah Kinatah Gajah Singa, yang menghiasi bagian wuwungan gonjo. Penataannya unik: bentuk stilasi mini gajah dan singa ditempatkan di dua sisi peksi, sementara ruang di antaranya dihias dengan lung-lungan.
Dalam tradisi Jawa, penggambaran binatang atau benda alam sering digunakan untuk merekam waktu. Inilah yang disebut candra sengkala—cara khas Jawa dalam menandai tahun dengan lambang-lambang simbolik.
“Gajah Singa Curigo Tunggal” adalah salah satu candra sengkala yang menandai padamnya pemberontakan Pragola di Pati, peristiwa besar yang terjadi di masa Sultan Agung. Jika diterjemahkan, gajah (1), singa (5), curigo (5), dan tunggal (1) menunjukkan angka tahun 1551 Jawa atau 1629 Masehi, sesuai catatan Dr. H. J. de Graaf.
Kinatah Gajah Singa menjadi lambang keperkasaan Mataram setelah menumpas pemberontakan itu—meski sebelumnya sempat gagal dalam dua penyerangan ke Batavia. Sultan Agung kemudian menganugerahkan berbagai kinatah sebagai penghargaan kepada para pahlawan perang.
Bagi para putra sentana dan pepatih dalem diberikan Kinatah Anggrek Manglar Monga atau Singa Barong;
untuk abdi dalem wadana kliwon (bupati dan bupati anom) diberikan Kinatah Kamarogan;
sementara bagi panewu mantri, dianugerahkan Kinatah Gajah Singa.
Pemberian kinatah bukan hanya hadiah, melainkan bentuk konsolidasi politik dan moral, sebagai tanda pengikat antara raja dan para prajurit setelah masa duka dan kekalahan.
Singa diartikan sebagai lambang Mataram—singa nggero, singa yang mengaum menggertak musuh. Sedangkan gajah melambangkan Pati—gajah nggiwar, gajah yang menghindar dan akhirnya tunduk. Dengan demikian, Gajah Singa melambangkan kemenangan Mataram atas Pati, juga kebangkitan setelah kegagalan.
Tangguh Mataram Senopaten
Dari segi garap, pusaka Sabuk Inten ini menunjukkan pasikutan yang prigel, tegas namun luwes, tampan sekaligus wingit. Bilahnya berwarna hitam kebiruan, dengan pamor yang tajam menancap pandes di permukaannya.
Ia masih membawa aroma keris-keris Majapahit—baik dari bentuk, lipatan besi, hingga pamor yang cenderung ngirid atau ceprit-ceprit. Hal ini wajar, sebab empu-empu di masa Mataram Senopaten adalah penerus langsung, baik secara keilmuan maupun garis keturunan, dari empu Majapahit.
Warisan teknik tempa, pakem bentuk, dan falsafah penciptaan pusaka tetap dijaga, hanya disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Jika kita menelusuri akar sejarahnya, garis pusaka ini dapat dirunut sejak masa kejayaan Majapahit pada abad ke-14 di bawah Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Setelah kemunduran kerajaan besar itu, muncul Raden Patah yang mendirikan Kesultanan Demak, lalu berpindah ke Pajang di bawah Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya), hingga akhirnya lahirlah Mataram di tangan Danang Sutawijaya—Panembahan Senapati ing Alaga.
Mataram bukan sekadar kelahiran kekuasaan baru, tetapi kesinambungan dari warisan lama. Para empu, seniman, dan rohaniawan Majapahit tidak punah; mereka bertransformasi di bawah panji Islam dan budaya baru yang tetap menghormati akar lamanya.
Perpaduan antara nilai Hindu-Buddha Majapahit dengan spiritualitas Islam Mataram inilah yang melahirkan karakter unik dalam pusaka seperti Sabuk Inten—paduan antara keindahan duniawi dan kedalaman batin, antara kekuasaan dan kesadaran diri.
P112
Keris Sabuk Inten Kinatah Gajah Singa
| Berat | 1500 gram |
| Kondisi | Bekas |
| Dilihat | 1.027 kali |
| Diskusi | Belum ada komentar |
Dhapur Santan Keris Dhapur Santan adalah satu dhapur keris luk 11 yang sekarang sangat jarang dijumpai dan termasuk dhapur langka. Memiliki ricikan pejetan, tikel alis, sogokan depan, kembang kacang, lambe gajah, greneng. Pada tahun jawa 522, Empu Sugati membuat pusaka ber-dhapur Santan dan Karacan atas perintah dari Prabu Kala di Negeri Purwacarito, Prabu Kala merupakan… selengkapnya
Rp 4.111.000Keris Parungsari Pamor Udan Mas Tiban Amangkurat Dhapur Parungsari memiliki kemiripan yang kuat dengan dhapur Sengkelat, baik dari jumlah luk maupun ricikannya. Yang membedakan hanya lambe gajah, di mana Sengkelat memiliki satu lambe gajah, sedangkan Parungsari memiliki dua. Perbedaan kecil seperti ini—tingil, lambe gajah, sraweyan, atau odo-odo—sering kali menjadi penentu identitas dhapur keris, sehingga keliru… selengkapnya
Rp 9.000.000Keris Kyai Bagong Astrajingga Kamardikan Kontemporer Keris ini bukan termasuk Pusaka sepuh, ia adalah Pusaka Kamardikan dengan gaya kontemporer. Kami pesan khusus kepada salah seorang Empu dengan ornamen yang berupa sosok Bagong. Bagong adalah tokoh punakawan dalam cerita pewayangan. Ia melambangkan kritik sosial dan kecerdasan yang dibalut kepolosan. Ornamen Bagong pada keris mengajarkan bahwa kebenaran… selengkapnya
Rp 7.200.000Tombak Biring Jaler Sepuh Nama lainnya dalah Biring Lanang dimana dhapur tombak ini mempunyai arti atau konotasi yang sadis. Nama sesungguhnya adalah Biring ing Palanangan, dari asal kata biri artinya kebiri (dikebiri), ing artinya untuk atau pada, sedangkan palanangan berarti kemaluan laki-laki. Jadi artinya adalah tombak sebagai senjata untuk mengebiri kemaluan laki-laki. Orang barangkali tidak… selengkapnya
Rp 950.000Keris Naga Sapta Kinatah Emas Sepuh Naga adalah salah satu makhluk mitologis yang jejaknya hadir hampir di seluruh belahan dunia. Setiap peradaban memiliki tafsir dan rupa tersendiri tentang naga, termasuk masyarakat Jawa yang mengenalnya sebagai makhluk agung, penjaga kesucian, sekaligus simbol kekuatan yang berasal dari alam adikodrati. Dalam tradisi Jawa, kisah-kisah tentang naga bukan sekadar… selengkapnya
Rp 150.000.000Dhapur Kidang Soka Keris berdhapur Kidang Soka mengandung filosofi yang kaya, diambil dari karakter kidang (rusa) yang menjadi simbol utama dhapur ini. Kidang dikenal sebagai hewan yang lincah, tangkas, dan penuh kehati-hatian; sifat-sifat ini menjadi cerminan watak yang diharapkan bagi pemilik keris. Secara spiritual, keris Kidang Soka mengajarkan keanggunan dalam bertindak, ketepatan dalam mengambil keputusan,… selengkapnya
Rp 2.300.000


















Belum ada komentar, buka diskusi dengan komentar Anda.