Beranda » Carubuk » Keris Carubuk Pamor Toya Mambeg Pajajaran
click image to preview activate zoom

Keris Carubuk Pamor Toya Mambeg Pajajaran

Rp 7.777.000
KodeP168
Stok Tersedia (1)
Kategori Carubuk, Keris
Jenis : Keris Luk 7
Dhapur Carubuk
Pamor Toya Mambeg
Tangguh Pajajaran
Warangka : Ladrang Surakarta, Kayu Trembalo Iras Lawasan
Pendok : Blewah Bahan Mamas Lawasan
Tentukan pilihan yang tersedia!
Bagikan ke

Keris Carubuk Pamor Toya Mambeg Pajajaran

Dhapur Carubuk Luk 7

Keris Carubuk adalah salah satu dhapur luk 7 yang cukup populer dan memiliki kisah yang sangat menarik di balik kehadirannya.
Menurut cerita rakyat, pusaka ini diyakini sebagai salah satu peninggalan Sunan Kalijaga, hasil karya Empu Supa Anom, sang pandai besi legendaris yang hidup sezaman dengan para wali.

Konon, awalnya Sunan Kalijaga tidak meminta dibuatkan pusaka, melainkan sebilah alat sederhana untuk menyembelih hewan kurban.
Namun setelah melalui proses tempa yang disertai doa dan laku spiritual, besi itu justru menjelma menjadi sebilah keris yang indah dan berkarakter kuat.

Sunan Kalijaga kemudian menamainya Carubuk, yang berarti bagaikan bumi — simbol kerendahan hati, keteguhan, dan kemampuan menerima segala keadaan dengan lapang dada.
Dari niat sederhana yang tulus, lahirlah pusaka yang kelak menjadi lambang kebijaksanaan dan ketenangan jiwa.

Seiring waktu, Kyai Carubuk tak hanya dikenal karena keindahannya, tetapi juga karena peran pentingnya dalam sejarah.
Keris ini diyakini pernah menjadi pusaka yang dibawa oleh murid Sunan Kalijaga, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, ketika berhadapan dengan Arya Penangsang dan kerisnya yang tersohor, Kyai Setan Kober.
Kemenangan itu menjadi simbol bahwa niat yang suci dan hati yang ikhlas sering kali lebih kuat daripada amarah dan kesombongan.

Kisah Carubuk mengajarkan kita bahwa dari niat sederhana dan laku yang ikhlas, bisa lahir sesuatu yang luar biasa.
Sebilah alat untuk kurban berubah menjadi pusaka agung — lambang kebesaran, kebijaksanaan, dan pengorbanan.

Secara bentuk, dhapur Carubuk memiliki ricikan sekar kacang, jalen, lambe gajah, pejetan, sraweyan, dan greneng.
Bilahnya tampak besar, birawa, dan berkarakter tegas — mencerminkan gaya keris-keris tangguh Pajajaran.
Rancang bangunnya gagah namun sarat rasa; sederhana dalam bentuk, namun dalam dalam makna.

Pamor Toya Mambeg

Yang tak kalah istimewa adalah pamor yang menghiasi bilahnya, yaitu pamor Toya Mambeg — salah satu jenis pamor miring yang langka dan penuh filosofi.
Pola pamornya tampak hidup, rapat, dan teratur, seolah mengalir namun tenang.
Secara harfiah, Toya Mambeg berarti air yang menggenang, menggambarkan aliran yang berhenti dan menyimpan kesejukan di dalamnya.

Pamor ini melambangkan rezeki yang mengalir namun tidak mudah habis, keberkahan yang tenang, serta kemampuan untuk menampung dan menjaga apa yang telah dianugerahkan Tuhan.
Seperti air yang tenang di telaga, ia menyimpan kedalaman makna dan keteduhan batin.

Tangguh Pajajaran

Pusaka dari era Pajajaran ini masih menyisakan pesona yang luar biasa.
Ia bukan hanya artefak, tetapi warisan peradaban yang membawa jejak masa keemasan tanah Sunda.

Jika menelusuri akar sejarahnya, Pajajaran bukan sekadar nama kerajaan, melainkan puncak perjalanan panjang kebudayaan Sunda.
Ia merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan besar sebelumnya: Tarumanegara, Galuh, Kawali, dan Sunda, yang membentuk fondasi politik dan budaya di tanah Pasundan.

Berdasarkan Prasasti Sanghyang Tapak, kerajaan ini berdiri sekitar abad ke-10 Masehi, dipimpin oleh Sri Jayabhupati.
Namun puncak keemasan Pajajaran terjadi di bawah pemerintahan Prabu Siliwangi, atau Sri Baduga Maharaja, yang naik tahta pada tahun 1428 Masehi.

Pada masa itu, rakyat hidup tenteram dan sejahtera di bawah ajaran silih asah, silih asih, silih asuh — saling mengasah pengetahuan, saling mengasihi, dan saling menjaga.
Prabu Siliwangi dikenal bijaksana, menegakkan keadilan, serta memajukan agama dan kebudayaan.
Ia juga memperkuat pertahanan dengan seratus ribu prajurit dan puluhan gajah perang — simbol kejayaan dan kemakmuran Pajajaran.

Namun waktu tak pernah berhenti.
Seiring datangnya pengaruh Islam dan menguatnya Kesultanan Banten, sinar Pajajaran perlahan meredup.
Tahun 1579 menjadi penanda berakhirnya masa gemilang itu, ketika Maulana Yusuf dari Banten menyerang Pakuan dan membawa Palangka Sriman Sriwacana, singgasana kebesaran Pajajaran, ke Surosowan.

Sejak saat itu, nama Pajajaran hanya tinggal legenda — bergema dalam naskah-naskah kuno dan ingatan rakyat.
Para bangsawan yang tersisa mengasingkan diri ke pedalaman Lebak, mempertahankan cara hidup lama yang berpadu dengan alam.
Mereka inilah yang kini dikenal sebagai masyarakat Baduy, pewaris nilai-nilai luhur Pajajaran yang tetap hidup hingga hari ini.

Begitulah hakikat sebuah keris — ia tidak hanya bisa dibaca dari bentuk dan keindahannya saja,
tetapi juga dari nilai filosofi, kisah sejarah, dan pesan peradaban yang dikandungnya.
Dalam sebilah bilah besi, tersimpan kisah manusia, doa, dan kebijaksanaan dari masa silam.

P168

Keris Carubuk Pamor Toya Mambeg Pajajaran

Berat 1500 gram
Kondisi Bekas
Dilihat 2.632 kali
Diskusi Belum ada komentar

Belum ada komentar, buka diskusi dengan komentar Anda.

Silahkan tulis komentar Anda

Produk Terkait