● online
Keris Megantara Kinatah Emas
Rp 65.000.000| Kode | P108 |
| Stok | Tersedia (1) |
| Kategori | Keris, Megantara |
| Jenis | : Keris Luk 7 |
| Dhapur | : Megantara (Kinatah Emas) |
| Pamor | : Kulit Semangka |
| Tangguh | : Mataram Senopaten |
| Warangka | : Ladrang Surakarta, Kayu Trembalo Iras |
Keris Megantara Kinatah Emas
Keris Megantara Kinatah Emas
Pusaka yang betul-betul istimewa. Saya, dengan prejengan remukan karak seperti ini, merasa sangat beruntung dapat menanting dan merawatnya hingga hari ini.
Jika kita amati bersama, pusaka ini tampil dengan pasikutan yang prigel, memiliki aura wingit, serta bentuk yang proporsional. Ornamen kinatah yang terukir hampir di seluruh bilahnya menjadi keistimewaan tersendiri. Hal ini juga menguatkan dugaan bahwa pusaka ini dahulu merupakan ageman para pembesar atau orang dalam keraton.
Keutuhan bilah dan kinatah-nya yang masih mendekati 90% menjadi pertanda bahwa pusaka ini dirawat oleh tangan-tangan yang benar-benar menghargai—bukan hanya sebagai benda pusaka, melainkan sebagai jati diri bangsa yang patut dijaga.
Dhapur Megantoro sendiri tergolong langka. Sekilas, keris Megantoro luk 7 ini tampak mirip dengan keris luk 5 karena bagian ujung bilahnya yang lurus. Namun justru di sanalah keunikannya. Luk pada pangkal bilah tampak rapat, namun semakin ke atas semakin renggang, hingga luk terakhir tampak samar dan berakhir lurus di pucuk bilah.
Ricikan pada dhapur ini juga khas. Ia memiliki kembang kacang nyucuk peksi — seolah paruh burung yang menusuk lembut di ujung gandik. Kata “nyucuk” sendiri bermakna “menyerupai,” sehingga nyucuk peksi berarti “seolah paruh burung.” Selain itu, Megantoro juga memakai jalen, lambe gajah satu, greneng, serta kruwingan tunggal yang memanjang hampir tiga perempat panjang bilah. Gonjo-nya berbentuk wilut, dengan ujung kanyut seperti buntut cecak yang melengkung ke atas — detail yang khas dan penuh karakter.
Dalam bahasa Jawa, Megantoro berasal dari kata mego dan antoro — mego berarti awan, dan antoro berarti batas atau antara. Secara harfiah, Megantoro berarti “awan yang berada di antara,” batas antara langit dan bumi.
Maknanya mendalam. Ia mengingatkan kita, terutama mereka yang memikul tanggung jawab kepemimpinan, bahwa sejatinya manusia—betapa pun tinggi jabatannya—hanyalah seperti awan yang berarak.
Dan di atas awan, selalu ada langit yang lebih tinggi. Sebuah isyarat halus namun tegas: selalu ada yang lebih luhur dari kita. Maka tak ada alasan untuk menyombongkan apa yang dimiliki, melainkan lebih banyak alasan untuk bersyukur atas apa yang telah dipercayakan.
Sebagaimana awan yang lahir dari ketiadaan, menggumpal, lalu kembali ke bumi sebagai hujan, demikian pula perjalanan hidup manusia. Ada awal yang sunyi, proses yang panjang, puncak yang sering membuat lupa diri, dan akhirnya kembali pada asal. Dari awan kita belajar keikhlasan untuk datang dan pergi—belajar bahwa segala sesuatu memiliki batas.
Dalam ajaran luhur Hasta Brata, delapan laku kepemimpinan yang meneladani sifat alam, terdapat satu laku yang menyerupai sifat awan—himinda. Awan tidak memilih siapa yang akan diselimuti. Ia menaungi gunung dan lembah, kaya dan miskin, tanpa membeda-bedakan. Seorang pemimpin sejati pun demikian: merangkul semuanya dengan adil dan tanpa pamrih.
Namun awan juga bisa membawa guntur dan petir—pertanda wibawa dan ketegasan. Pemimpin harus berani menegakkan aturan dan memberi sanksi dengan adil. Tapi setelah itu, seperti hujan yang turun dari mendung, ia harus menyejukkan dan memberi kehidupan. Setiap kebijakan bukan untuk dirinya, melainkan untuk kesejahteraan mereka yang dinaunginya.
Maka Keris Megantoro ini menjadi pengingat sunyi tentang batas-batas yang tak terlihat namun pasti. Bahwa kekuasaan bukan tempat berpijak, melainkan awan yang sedang berarak—meneduhkan, merangkul, dan akhirnya kembali ke bumi, dengan atau tanpa hujan.
Karena di atas awan, masih ada langit.
Dan di bawah awan, selalu ada bumi yang menanti tetes hujan keadilan.
Pusaka dari masa Kerajaan Mataram abad ke-16 ini bukan hanya warisan fisik, melainkan juga warisan nilai dan ajaran. Jejak kesejarahannya mengakar pada sosok Panembahan Senapati—pendiri Mataram Islam, yang dikenal bukan hanya sebagai penguasa, tetapi juga seorang pertapa.
Ia bukan lahir dari singgasana, melainkan dari semedi, tirakat, dan pertarungan batin. Seperti awan di antara langit dan bumi, Panembahan Senapati berada di antara dua kutub besar: dunia politik yang keras dan dunia batin yang sunyi.
Dalam babad dan tutur lisan, diceritakan bahwa beliau melakukan semedi hingga bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul. Dalam tafsir modern, peristiwa ini dapat dimaknai sebagai perjalanan spiritual—“perjanjian batin” antara manusia dengan dirinya sendiri, dengan alam, dan dengan nilai kepemimpinan yang lebih tinggi.
Kekuasaan sejati bukan tentang menindas, melainkan menyuburkan kehidupan. Pemimpin sejati bukan yang haus pengakuan, melainkan yang berani menundukkan egonya demi kepentingan rakyat.
Tirakat, semedi, tapa ngrame—semuanya bukan bentuk pelarian, melainkan cara memahami realitas dengan kejernihan. Dalam konteks hari ini, mungkin bisa kita sebut sebagai refleksi diri, kontemplasi, atau kepemimpinan yang berlandaskan empati dan kesadaran sosial.
Maka, Keris Megantoro ini—dengan filosofi awan di antara langit dan bumi—adalah pengingat abadi bahwa kekuasaan tidak pernah kekal. Ia seperti awan: muncul, tumbuh, berarak, lalu kembali ke bumi.
Dan di antara langit dan bumi itu, ada tanggung jawab.
Dari tanggung jawab itulah nilai seorang pemimpin diukur.
Keris Megantara Kinatah Emas
| Berat | 1500 gram |
| Kondisi | Bekas |
| Dilihat | 845 kali |
| Diskusi | Belum ada komentar |
Keris Naga Sapta Kinatah Emas Sepuh Naga adalah salah satu makhluk mitologis yang jejaknya hadir hampir di seluruh belahan dunia. Setiap peradaban memiliki tafsir dan rupa tersendiri tentang naga, termasuk masyarakat Jawa yang mengenalnya sebagai makhluk agung, penjaga kesucian, sekaligus simbol kekuatan yang berasal dari alam adikodrati. Dalam tradisi Jawa, kisah-kisah tentang naga bukan sekadar… selengkapnya
Rp 150.000.000Dhapur Carubuk Luk 7 Keris Carubuk adalah salah satu dhapur luk 7 yang cukup populer dan memiliki kisah yang sangat menarik di balik kehadirannya. Menurut cerita rakyat, pusaka ini diyakini sebagai salah satu peninggalan Sunan Kalijaga, hasil karya Empu Supa Anom, sang pandai besi legendaris yang hidup sezaman dengan para wali. Konon, awalnya Sunan Kalijaga… selengkapnya
Rp 7.777.000


























Belum ada komentar, buka diskusi dengan komentar Anda.