Beranda » Kebo Lajer » Keris Kebo Lajer Pamor Wos Wutah Tuban Sepuh
click image to preview activate zoom

Keris Kebo Lajer Pamor Wos Wutah Tuban Sepuh

Rp 3.750.000
KodeF141
Stok Tersedia (1)
Kategori Kebo Lajer, Keris
Jenis : Keris Lurus
Dhapur Kebo Lajer
Pamor Wos Wutah
Tangguh Tuban Sepuh
Warangka : Gayaman Surakarta, Kayu Timoho Kuno
Tentukan pilihan yang tersedia!
Bagikan ke

Keris Kebo Lajer Pamor Wos Wutah Tuban Sepuh

Dhapur Kebo Lajer

Keris berdhapur Kebo Lajer merupakan pusaka yang sarat makna, yang diharapkan dapat menanamkan sifat seperti kerbau jantan suci pada pemiliknya—yaitu tekun bekerja, penuh kesabaran, dan menjunjung kesucian dalam setiap usaha untuk menghidupi keluarga serta masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. Keris ini mengajarkan nilai keteguhan, ketahanan, dan dedikasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Secara fisik, Keris Kebo Lajer memiliki beberapa ricikan khas, seperti Kembang Kacang, Jalen, Lambe Gajah, dan Blumbangan. Beberapa ricikan mungkin hadir dalam jumlah berbeda-beda, bahkan kadang tidak ada, namun semuanya tetap mengandung filosofi tersendiri yang memperkuat simbolisme keris ini.

Dari sisi spiritual, tuah dan doa yang dititipkan oleh sang empu pada Keris Kebo Lajer diyakini dapat menolak wabah penyakit, membawa keselamatan, dan menjadikan pemiliknya sosok yang bijaksana serta dihormati. Keris ini juga dianggap sebagai simbol perlindungan terhadap wilayah kekuasaan, meningkatkan wibawa, dan menjaga kesejahteraan masyarakat maupun lingkungan sekitar.

Dalam tradisi kejawen dan Hindu Jawa, kerbau merupakan hewan suci yang melambangkan kebijaksanaan, keberanian, kesetiaan, dan kemurahan hati. Keris Kebo Lajer meneladani sifat-sifat ini, mengajarkan pemiliknya untuk selalu gigih dan bijaksana dalam menghadapi berbagai tantangan hidup, serta menjaga keharmonisan dengan alam dan sesama.

Sejak zaman lampau, keris Kebo Lajer kerap dimiliki oleh para pengreh praja—lurah, bupati, raja, dan resi—sebagai pusaka utama yang diyakini mampu menyucikan wilayah, mengamankan tanaman dari hama, dan melindungi masyarakat dari penyakit. Bahkan sebagian pusaka Kebo Lajer masih diwariskan secara turun-temurun, terutama oleh keluarga yang memiliki garis keturunan kesatria atau bangsawan.

Selain fungsi spiritual dan sosial, sebagian pecinta keris meyakini bahwa tuah Kebo Lajer dapat membantu penghidupan petani, menyuburkan tanaman, meningkatkan hasil panen, serta memperkuat wibawa pemiliknya. Semua itu diyakini terjadi dengan kehendak Sang Pencipta, menjadikan keris ini bukan sekadar pusaka, melainkan simbol ketekunan, keberanian, dan perlindungan yang menyeluruh bagi pemiliknya dan lingkungannya.

Pamor Wos Wutah

Pamor Wos Wutah atau Beras Wutah, yang artinya beras tumpah, karena bercak-bercak kecil dan putih yang tersebar pada permukaan bilah, nampak seolah seperti beras yang tumpah berceceran. Pamor beras tumpah memiliki filosofi yang mendalam tentang arti rejeki yang melimpah.

Di sisi lain pamor beras wutah itu sendiri juga sebagai simbol pameling (pengingat) dalam mengarungi kehidupan berumah tangga antara suami-istri. “Beras tumpah jarang kembali ke takarannya“. Peribahasa ini menggambarkan sesuatu yang telah berubah, sulit untuk kembali seperti semula. Pitutur (pesan) yang terkandung didalamnya adalah supaya manusia hati-hati, karena kalau sudah terjadi perubahan akan sulit pulih seperti sediakala. Andaikan kita coba kumpulkan lagi, selain memakan waktu pasti ada yang tercecer juga, dan yang kita kumpulkan pun mungkin sudah jadi kotor.

Dalam menjalani hidup berumah tangga seyogyalah kita harus menjaga agar “beras tidak tumpah”. Mengapa harus dijaga? Kembali kepada filosofi “kalau beras sudah terlanjur tumpah” artinya respek yang didapat dari pasangan sudah tidak akan sama lagi, untuk pulih pun akan memerlukan waktu, dan “surga” dalam berumah tangga akan kehilangan salah satu pilarnya yakni kepercayaan.

Tangguh Tuban

Keris tangguh tuban pada umumnya memiliki pejetan yang sempit, gandik-nya tegak tidak mboto rubuh seperti pada umumnya keris, dan bilahnya nglimpo agak lebar. Gonjo-nya pun mayoritas lurus atau wuwung (agak melengkung). Kepala gonjo umumnya berbentuk buweng (bulat), dan bagian perut berupa mbathok mengkurep, dan ekornya nguceng mati.

Jika mengingat tentang kerajaan tuban, teringat pula tentang kisah-kisah legenda yang sampai saat ini masih terngiang di telinga masyarakat. Masyarakat Tuban tidak bisa dipisahkan dari legenda Ronggolawe dan Brandal Lokajaya. Legenda itu begitu kental dan menyejarah sehingga sedikit banyak mewarnai pembentukan sistem nilai pribadi dan sosial. Elite politik sering kali memanfaatkan untuk kepentingan dan pencapaian target politiknya.

Legenda Ronggolawe versi masyarakat Tuban berbeda dengan naskah sejarah seperti ditulis kitab Pararaton maupun Kidung Ranggolawe.
Menurut Kidung Ranggolawe, tindakan ngraman (berontak) Ronggolawe dilancarkan setelah tuntutannya agar pengangkatan Empu Nambi sebagai Patih Amangkubumi Majapahit dianulir.

Rudapaksa politik yang menurut Pararaton terjadi pada tahun 1295 itu berakhir tragis. Raja Kertarajasa Jayawardhana menolak tuntutan Ronggolawe tersebut.

Pasukan dikirim untuk menyerang Ranggolawe. Akhirnya Ronggolawe diperdayai untuk duel di Sungai Tambak Beras. Dia pun tewas secara mengenaskan oleh Mahisa Anabrang.

Bagi masyarakat Tuban, Ronggolawe bukanlah pemberontak, tetapi pahlawan keadilan. Sikapnya memprotes pengangkatan Nambi, karena figur Nambi kurang tepat memangku jabatan setinggi itu.

Nambi tidak begitu besar jasanya terhadap Majapahit. Masih banyak orang lain yang lebih tepat seperti Lembu Sora, Dyah Singlar, Arya Adikara, dan tentunya dirinya sendiri.

Ronggolawe layak menganggap dirinya pantas memangku jabatan itu. Anak Bupati Sumenep Arya Wiraraja ini besar jasanya terhadap Majapahit.
Ayahnya yang melindungi Kertarajasa Jayawardhana ketika melarikan diri dari kejaran Jayakatwang setelah Kerajaan Singsari jatuh (Kertarajasa adalah menantu Kertanegara, Raja Singasari terakhir).

Ronggolawe ikut membuka Hutan Tarik yang kelak menjadi Kerajaan Majapahit. Dia juga ikut mengusir pasukan Tartar maupun menumpas pasukan Jayakatwang.

Bagi masyarakat Tuban, Ronggolawe adalah korban konspirasi politik tingkat tinggi. Penyusun skenario sekaligus sutradara konspirasi politik itu adalah Mahapati, seorang pembesar yang berambisi menjadi patih amangkubumi.

Melalui skenarionya, Lembu Sora, paman Ronggolawe yang membunuh Mahisa Anabrang akhirnya dibunuh oleh pasukan Nambi melalui tipu daya yang canggih. Empu Nambi sendiri mati dengan tragis.

F141

Keris Kebo Lajer Pamor Wos Wutah Tuban Sepuh

Berat 1500 gram
Kondisi Bekas
Dilihat 1.945 kali
Diskusi Belum ada komentar

Belum ada komentar, buka diskusi dengan komentar Anda.

Silahkan tulis komentar Anda

Produk Terkait